TUGAS 6
MAKALAH
INFLASI
Disusun Oleh :
Ghea Ditha Harsis Madkan
23213702 / 4EB28
Mata Kuliah : Akuntansi Internasional
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bila
ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia
menjaga kestabilan mata uang telah menuju ke arah yang lebih baik. Prof. M.
Sadli, 2005, mengungkapkan bahwa inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman
Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent
(kalau perlu uang, cetak saja). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan
inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh
karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of
development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman
reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia
mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena
inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya
bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5
persen setahun.
Pada tahun
1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis
moneter Indonesia dan Asia 1997 Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan
kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai tukar
rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per
dolar AS (1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter
yang sangat ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang (paling) rendah yang
pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.
Selanjutnya
pada tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang
tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai
sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia
(1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM)
diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga
minyak di pasar internasional menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan
subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia
mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total konsumsi energi
Indonesia.
Inflasi
bergerak pada angka yang sangat mendekati yaitu 6,60% (2006) dan 6,59% (2007).
Bila saja inflasi yang terjadi pada tahun 2005 dapat diabaikan dengan alasan
bahwa BBM sebagai faktor utama yang mempengaruhi inflasi tahun 2005 berada
diluar kendali Pemerintah, maka tingkat inflasi dalam 2000-2006 tahun terakhir
dapat dikatakan cukup terkendali.
Pemerintah
(pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi,
namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih
sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian Indonesia. Inflasi yang
terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat inflasi
Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di bawah
1%. Bila sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di
sektor moneter menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka panjang hanya akan
menjadi hal yang sia-sia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian inflasi?
2. Apa saja jenis-jenis, teori, biaya
inflasi dan cara menghitung inflasi?
3. Apa dampak inflasi dan cara mencegah
inflasi?
4. Bagaimana perkembangan inflasi di
Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian inflasi.
2. Mengetahui jenis-jenis, teori,
biaya, dan cara menghitung inflasi.
3. Mengetahui dampak inflasi dan
cara mencegah inflasi.
4. Mengetahui perkembangan inflasi di
Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Inflasi
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang-barang lain, Boediono (1982: 155). Dalam
praktek, inflasi dapat diamati dengan mengamati gerak dari indek harga. Tetapi
di sini harus diperhitungkan ada tidaknya suppressed inflation (inflasi yang
ditutupi).
Akibat
inflasi secara umum adalah menurunnya daya beli masyarakat karena secara riel
tingkat pendapatannya juga menurun. Jadi, misalkan besarnya inflasi pada tahun
yang bersangkutan naik sebesar 5% sementara pendapatan tetap, maka itu berarti
secara riel pendapatan mengalami penurunan sebesar 5% yang akibatnya relatif
akan menurunkan daya beli sebesar 5% juga, Putong (2002: 254).
Ø Rumus Menghitung Inflasi
Adapun rumus untuk menghitung inflasi adalah:
In adalah
inflasi, IHKn adalah harga konsumen tahun dasar (dalam hal ini nilainya 100,
IHKn-1 adalah indeks harga konsumen tahun berikutnya. Dfn adalah GNP atau PDB
deflator tahun berikutnya, Dfn-1 adalah GNP atau PDB deflator tahun awal
(sebelumnya).
B. Jenis
Inflasi
v Berdasarkan
sifatnya
1.
Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi 4 kategori
utama, Putong (2002: 260), yaitu:
·
Inflasi
merayap/rendah (creeping Inflation), yaitu inflasi yang besarnya kurang
dari 10% pertahun.
·
Inflasi
menengah (galloping inflation) besarnya antara 10-30% pertahun.
·
Inflasi
berat (high inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun.
·
Inflasi
sangat tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh
naiknya harga secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%).
v Berdasarkan
sebabnya
2.
Berdasarkan sebabnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong
(2002: 260), yaitu:
·
Demand Pull
Inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi di
satu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja
penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan, bila
permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.
·
Cost Push
Inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi
(naiknya biaya produksi dapat terjadi karena tidak efisiennya perusahaan, nilai
kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh / menurun, kenaikan harga bahan
baku industri, adanya tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh yang kuat dan
sebagainya).
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi
kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil)
ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk
output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya
dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan
penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha). Perbedaan yang laindari
kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Kedua macam
inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada
umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari
kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu
sama lain, Boediono (1982: 157-158).
v Berdasarkan
asalnya
3.
Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong
(2002: 260), yaitu:
·
Domestic
Inflation atau inflasi yang berasal dari dalam negeri.
Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul misalnya karena deficit
anggaran belanja yabg dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal
dan sebagainya.
·
Imported
Inflation atau inflasi yang tertular dari luar negeri.
Inflasi ini timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau
Negara-negara langganan berdagang kita.
Kenaikan
harga barang-barang yang kita impor mengakibatkan:
1. Secara langsung menaikkan indeks biaya hidup karena sebagian
dari barang-barang yang tercakup di dalamnya berasal dari impor.
2. Secara tidak langsung menaikan indeks harga melalui
kenaikan ongkos produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang
menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation).
3. Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam
negeri karena ada kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga
barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengelauaran pemerintah atau swasta
yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand Pull
Inflation).
C. Teori Inflasi
Secara garis
besar ada 3 (tiga) kelompok teori mengenai inflasi. Ketiga teori itu adalah,
Boediono (1982: 169-170):
1.
Teori Kuantitas (persamaan pertukaran dari Irving
Fisher: MV=PQ)
Teori
kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih
sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama
di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini mengatakan bahwa penyebab
utama dari inflasi adalah:
·
Pertambahan jumlah uang yang beredar
·
Psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan
harga-harga (expectations) di masa mendatang.
Tambahan
jumlah uang beredar sebesar x% bisa menumbuhkan inflasi kurang dari x%, sama
dengan x% atau lebih besar dari x%, tergantung kepada apakah masyarakat tidak
mengharapkan harga naik lagi, akan naik tetapi tidak lebih buruk daripada
sekarang atau masa-masa lampau, atau akan naik lebih cepat dari sekarang, atau
masa-masa lampau.
2.
Teori Keynes
Teori Keynes
mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara
golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregat yang lebih
besar daripada jumlah barang yang tersedia (yaitu, apabila timbul inflationary
gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi
berkelanjutan. Teori ini menarik karena:
·
Menyoroti peranan system distribusi pendapatan dalam
proses inflasi,
·
Menyarankan hubungan antara inflasi dan faktor-faktor
non-ekonomis.
3.
Teori Strukturalis
Teori
strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di
negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada
ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara
sedang berkembang. Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang.
Disebut
teori inflasi jangka panjang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor
structural dari perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya
bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang). Menurut teori ini, ada 2
(dua) ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang
bisa menimbulkan inflasi.
a.
Ketegaran yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari
penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding
dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan karena :
·
Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara
tersebut makin tidak menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor
yang harus dibayar.
·
Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak
responsive terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak
elastis). Kelambanan pertumbuhan ekspor ini berarti kelambanan kemampuan untuk
mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk konsumsi maupun untuk investasi.
Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang
menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang yang sebelumnya
diimpor (import substitution strategy).
b.
Ketegaran yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan
dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
D.
Biaya Inflasi
Ø Biaya Inflasi yang diharapkan muncul karena hal-hal
sebagai berikut, Putong (2002: 262-263):
1. Shoe leather
cost (biaya kulit sepatu) adalah istilah yang menyatakan bahwa bila inflasi
sesuai dengan harapan maka relatif penetapan suku bunga bank akan lebih besar
dari tingkat inflasi.
- Menu cost (biaya menu), yaitu biaya yang muncul karena perusahaan harus sering mengubah harga dan itu berarti harus mencetak dan mengedarkan katalog baru.
- Complaint and opportunity loss cost (biaya komplain dan hilangnya kesempatan). Bila perusahaan dengan sengaja tidak mau mengganti katalog baru, maka perusahaan akan mengalami kerugian karena harga akan naik sementara perusahaan menjual dengan harga lama. Bila tidak sengaja, maka perusahaan akan mendapat komplain dari pelanggan karena harga tidak sesuai dengan catalog (khusus untuk Negara yang konsumerismenya relative sangat baik).
- Biaya perubahan peraturan/undang-undang pajak.
- Biaya ketidaknyamanan hidup.
Ø Biaya inflasi yang tidak diharapkan:
1. Redistribusi
pendapatan antara debitor dengan kreditor.
- Penurunan nilai uang pensiunan.
E. Dampak
Inflasi
1. Bila harga
barang secara umum naik terus-menerus, maka masyarakat akan panik, sehingga
perekonomian tidak berjalan normal, karena di satu sisi ada masyarakat yang
berlebihan uang memborong barang, sementara yang kekurangan uang tidak bisa
membeli barang, akibatnya negara rentan terhadap segala macam kekacauan yang
ditimbulkannya.
- Sebagai akibat dari kepanikan tersebut maka masyarakat cenderung untuk menarik tabungan guna membeli dan menumpuk barang sehingga banyak bank di rush, akibatnya bank kekurangan dana dan berdampak pada tutup atau bangkrut, atau rendahnya dana investasi yang tersedia.
- Produsen cenderung memanfaatkan kesempatan kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan dengan cara mempermainkan harga di pasaran, sehingga harga akan terus menerus naik.
- Distribusi barang relatif tidak adil karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada daerah yang masyarakatnya dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya memiliki banyak uang.
- Bila inflasi berkepanjangan, maka produsen banyak yang bangkrut karena produknya relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada yang mampu membeli.
- Jurang antara kemiskinan dan kekayaan masyarakat semakin nyata yang mengarah pada sentimen dan kecemburuan ekonomi yang dapat berakhir pada penjarahan dan perampasan.
- Dampak positif dari inflasi adalah bagi pengusaha barang-barang mewah (highend) yang mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise).
- Masyarakat akan semakin selektif dalam mengkonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan.
- Inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi semakin dipercaya dan tangguh.
- Tingkat pengangguran cenderung akan menurun karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha, Putong (2002: 263-264).
F. Cara
Mencegah dan Mengatasi Inflasi
Dengan
menggunakan persamaan Irving Fisher MV=PQ, dapat dijelaskan bahwa inflasi
timbul karena MV naik lebih cepat daripada Q. Jadi untuk mencegah inflasi
variabel M atau V harus dikendalikan, lalu volume Q ditingkatkan. Untuk
mengatur M, V, dan Q dapat dilakukan dengan berbagi kebijakan Nopirin (2005:
34-35), yaitu:
1.
Kebijaksanaan Moneter
·
Mengatur jumlah uang yang beredar (M). Salah satu
komponennya adalah uang giral. Uang giral dapat terjadi dalam dua cara, yaitu
seseorang memasukkan uang kas ke bank dalam bentuk giro dan seseorang
memperoleh pinjaman dari bank berbentuk giro, yang kedua ini lebih inflatoir.
Bank sentral juga dapat mengatur uang giral dengan menaikkan cadangan minimum,
sehingga uang beredar lebih kecil. Cara lain yaitu menggunakan discount rate.
·
Memberlakukan politik pasar terbuka (jual/beli surat
berharga), dengan menjual surat berharga, bank sentral dapat menekan
perkembangan jumlah uang beredar.
2.
Kebijakan Fiskal
Dengan cara
pengurangan pengeluaran pemerintah serta menekan kenaikan pajak yang dapat
mengurangi penerimaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
3.
Kebijakan yang Berkaitan dengan Output
Dengan menaikkan jumlah output misal
dengan cara kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang meningkat
atau penaikan jumlah produksi, bertambahnya jumlah barang di dalam negeri
cenderung menurunkan harga.
4.
Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing
Dengan
penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk
gaji/upah (dengan demikian gaji/upah secara riil tetap). Kalau indeks harga
naik, maka gaji/upah juga naik, begitu pula kalau harga turun.
5.
Sanering
Sanering
berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi.
Kebijakan sanering antara lain: Penurunan nilai uang, Pembekuan sebagian
simpanan pada bank – bank dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan
diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh pemerintah.
6.
Devaluasi
Devaluasi
adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri.
Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai
mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan
dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.
Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang
sendiri terhadap mata uang asing.
G. Perkembangan
Inflasi di Indonesia
Seperti
halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi
di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai penyakit ekonomi makro yang
meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan
jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin
yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis
moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari
penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat
pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin
besarnya presentase golongan masyarakat miskin.
Apabila
ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab
timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu:
1. Jumlah uang beredar
Menurut
sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama penyebab
timbulnya inflasi di Indonesia. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang
beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar
(51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di
sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses
pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi
dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan
meningkatnya laju inflasi.
Menurut data
yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata
jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi
jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi
Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya
(kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun
1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit
likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat
merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan
(terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
2. Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti
halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut
prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali
disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia,
yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk
membangun.
Selama
pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja dibiayai dari dalam negeri
dengan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat.
Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan
pinjaman luar negeri yang relatif aman terhadap inflasi.
Dalam era
pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi sejak
Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan
pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun
pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum
berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan
pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor
pembangunan.
Hal ini
menyebabkan pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin.
Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi
dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan
penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam
keuangan negara. Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an,
pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang
primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat
pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas
produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan
permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari
masyarakat ke pemerintah, seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang
inflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
3. Faktor-faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan
penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan
permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan
struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan
pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di
Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang
terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan
pangan. Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector
pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan
daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang
cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju
penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga
sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary
gap. Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan
pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan
pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan
produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat
modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya
faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana
alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat
industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk
pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih
fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota.
Lebih lanjut, menurut hasil study empiris yang pernah dilakukan
oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga bahan pangan, kontributor
inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran agregat adalah imported
inflation, administrated goods, output gap, dan interest
rate.
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya
derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor,
baik capital goods; intermediated good; maupun row material.
Transmisi imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal,
yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang
impor di negara asalnya.
Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam
terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya
yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan
barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang
telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri
(khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga
potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri
yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak
buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode
tahun 1990-an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang
semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang
bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya
hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor
finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs),
disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported
inflation.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang
harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara
langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara
situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh,
apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang
atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh
masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output
yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat
diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap)
ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi
belum maksimal dan atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang
menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang
cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent
variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila
ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah
bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut.
Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan
biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit
perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka
biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output
di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat
suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
H. Pengendalian
Inflasi di Indonesia
Inflasi di
Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural
ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar
dari pada demand pull inflation. Memang dalam periode tahun-tahun tertentu,
misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia
disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat
mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada
periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan
permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan
derajat inflasi. Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan
pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum.
Pemerintah
Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam
inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi
perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi
inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang
telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki
structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai
alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan
dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya
berkarakteristik jangka panjang.
Jika
demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya
dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan
cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi
hambatan-hambatan struktural yang ada. Dengan berpedoman pada berbagai hambatan
dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka
perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
1. Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Meningkatkan
supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada
pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan.
Modernisasi teknologi dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan
pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar
tercipta swasembada pangan.
2. Mengurangi Defisit APBN
Mungkin
dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan,
tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk
mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan
penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena
hal ini juga dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan
dalam negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap
pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah
nantinya akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3. Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama,
perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account),
terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan
demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga,
diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin
meningkat. Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri
domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih banyak
memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang
tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir.
Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi
barang-barang modal untuk industri di dalam negeri. Ketiga, mengubah sifat
industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi
ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net
export. Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah
yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
4. Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran
Agregat
Pertama,
mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas
sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri
manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur
distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan
permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku
bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses
industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam
perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi
atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi
pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil
karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
I. Sumber Inflasi
Terdapat
banyak faktor yang dapat menimbulkan inflasi. Kenaikan harga bahan mentah yang
di impor, kenaikan harga bahan bakar, defisi dalam anggaran belanja pemerintah,
pinjaman sistem bank yang berlebihan, dan kegiatan infestasi yang sangat pesat
perkembanggannya merupakan beberapa contoh dari keadaan-keadaan dalam
perekonomian yang dapat menimbulkan inflasi.
Walaupun masalah inflasi dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor, secara
analitis cukuplah apabila faktor-faktor itu dibedakan dan digolongkan kepada
dua faktor berikut:
1)
Inflasi yang diakibatkan oleh perubahan dalam
permintaan agregat.
Inflasi
karena kenaikan permintaan agregat sering disebut dengan demand-pull inflation
(inflasi karena ditarik permintaan). Dalam inflasi jenis tersebut, kenaikan
kurve permintaan agregat menarik tingkat harga keatas. Agar demand-pull
inflation dapat terus terjadi maka kurve permintaan agregat harus terus
bergeser keatas sepanjang kurve penawaran agregat. Kenaikan Amerika selama
akhir tahun1960-an adalah karena demand-pull inflation, yaitu pada saat terjadi
pertumbuhan belanja federal untuk perang Vietnam dan perluasan sosial yang
menaikkan permintaan agregat.
Inflasi
tariakan permintaan dapat berlaku pada ketika perekonomian menghadapi masalah
penganguran yang tinggi maupun pada ketika kesempatan kerja penuh sudah
tercapai. Dikebanyakan negara-negara berkembang inflasi tarikan permintaan selalu
berlaku, walaupun dalam perekonomian banyak terdapat pengganguran. Keadaan
seperti ini dapat terjadi misalnya sebagai defisit angaran belanja pemerintah
yang terlalu besar. Devisit seperti ini dibiayai oleh pencetakan uang baru dan
akan meningkatakan permintaan agregat permin taan masyarakat. Sedangkan
kapasitas produksi berbagai jenis barang ada kalanya mencapai tingkat yang
maksimal dan tidak memungkinkan pertambahan produksi dalam keadaan seperti ini
inflasi tarikan permintaan akan berlaku.
Apabila
suatu perekonomian telah mencapai tingkat kesempatan kerja penuh. Inflasi
tarikan permintaan akan berlaku apabila permintaan agregat masih tetap
berkembang dengan pesat. Pada kesempatan kerja penuh, perekonomian tidak akan
mampu menaikkan produksi. Maka permintaan agregat yang terus bertambah akan
menyebabkan kenaikan harga-harga. Ada beberapa keadaan yang menyebabkan
permintaan agregat terus berkembang. Defisit dalam anggaran belanja pemerintah
merupakan salah satunya, penyebab yang lain adalah ekspor yang terus pesat
berkembang (yang menimbulkan kenaikan pendapatan kepada masyarakat dan terus
meningkatkan konsumsi rumah tangga dan perbelanjaan agregat), dan sebagai
akibat infestasi perusahaan yang semakin meningkat walaupun kesempatan kerja
penuh telah tercapai.
2)
Inflasi yang diakibatkan oleh perubahan dalam
penawaran agregat.
Inflasi
dapat muncul karena penurunan penawaran agregat, contohnya kegagalan panen dan
penurunan penawaran minyak menurunkan penawaran agregat selama tahun 1974-1975,
sehingga tinggkat harga naik. Inflasi yang terjadi karena penurunan penawaran
agregat sering disebut dengan cost-pust inflation. Kenaikan biaya produksi
mendorong tingkat harga ke atas. Penurunan penawaran agregat biasanya tidak
hanya menyebabkan kenaikan tingkat harga, tetapi penurunan tingkat output,
yaitu kombinasi yang disebut stagflasi. Agar cost-pust inflation dapat terus
terjadi maka kurva penawaran agregat harus terus bergeser kekiri sepanjang
kurva penawaran agregat.
Inflasi
seperti ini berlaku pada ketika kegiatan ekonomi telah mencapai kesempatan
kerja penuh. Pada tingkat ini industri-industri telah beroprasi pada kapasitas
yang maksimal dan penganguran tenaga kerja sangat rendah. Pada tingkat kegiatan
ekonomi ini tenaga kerja cenderung untuk menuntut kenaikan gaji dan upah yang
menyebabkan peningkatan fdalam biaya produksi. Biaya produksi juga meningkat
sebagai akibat kenaikan harga input seperti biaya pengangkutan, kenaikan sewa
bangunan dan kenaikan harga bahan mentah. Kenaikan biaya produksi sebagai akibat
dari berbagai faktor ini akan mendorong para pengusaha menaikan harga-harga
barang yang diproduksikannya.
J.
Penyebab
Inflasi, dapat dibagi menjadi :
1. Demand Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan permintaan
agregat yang melebihi kenaikan penawaran agregat.
2.
Supply Side
Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan penawaran
agregat yang melebihi permintaan agregat.
3.
Demand Supply
Inflation, yaiti inflasi yang disebabkan oleh kombinasi
antara kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh kenaikan
penawaran agregat,sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi.
4.
Supressed Inflation
atau Inflasi yang ditutup-tutupi, yaitu inflasi yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya
karena harga-harga resmi semakin tidak relevan dalam kenyataan.
K.
Efek yang
Ditimbulkan dari Inflasi
Ø Efek
terhadap pendapatan (equity effect)
Efek tehadap pendapatan sifatnya
tidak merata, ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan dengan adanya
inflasi. Seorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya
inflasi. Misalnya seorang memperoleh pendapatan tetap Rp 500.000,00 per tahun
sedang laju inflasi sebesar 10 persen akan menderita kerugian penurunan
pendapatan riil sebesar laju inflasi tersebut yaitu Rp 50.000,00.
Ø Efek
terhadap efisiensi (efficiency effect)
Inflasi dapat pula mengubah pola
alokasi faktor-faktor produksi perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan
permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya
perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu sehingga dapat mengakibatkan
alokasi faktor produksi menjadi tidak efesien.
Ø Efek
terhadap output (output effect)
Dalam menganalisa kedua efek di atas
(equity dan efficiency effect) digunakan suatu anggapan bahwa output tetap. Hal
ini dilakukan supaya dapat diketahui efek inflasi terhadap distribusi
pendapatan dan efisiensi dari jumlah output tertentu tersebut.
Ø Inflasi dan
perkembangan ekonomi
Inflasi yang tinggi tingkatnya tidak
akan mengalakkan perkembangan ekonomi biaya yang terus menerus naik menyebabkan
kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya
lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Aturan lain tujuan ini
dicapai dengan pembeli harta-harta tetap seperti tanah rumah dan bangunan. Oleh
karena pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan infestasi yang bersifat
seperti ini, infestasi produktif akan berkurang dan tingkat kegiatan ekonomi
menurun. Sebagai akibatnya akan lebih banyak penganguran.
BAB III
KESIMPULAN
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang
saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau
mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Inflasi
digolongkan menurut beberapa cara, dapat menurut laju inflasi (ringan, sedang,
berat, hiper inflasi), sebab awalnya (demand atau cost inflation), asalnya
(domestic atau imported inflation). Ada 3 teori utama mengenai inflasi. Teori
Kuantitas menekankan bahwa penyebab utama inflasi adalah pertambanahn jumlah
uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa
mendatang. Teori Keynes: inflasi terjadi karenan masyarakat hidup diluar batas
kemampuan sekonomisnya.. Teori strukturalis: sebab inflasi adalah dari kekakuan
struktur ekonomi.
Biaya Inflasi. Biaya Inflasi yang diharapkan muncul
adalah: Shoe leather cost, Menu cost, Complaint and opportunity loss cost,
Biaya perubahan peraturan/undang-undang pajak, dan Biaya ketidaknyamanan hidup.
Biaya inflasi yang tidak diharapkan: Redistribusi pendapatan antara debitor
dengan kreditor dan Penurunan nilai uang pensiunan. Dampak inflasi antara lain
engara rentan timbul kekacauan, masyarakat menarik tabungan, bank
kekurangan dana dam bangkrut, harga semakin naik, distribusi barang tidak adil,
produsen bangkrut, dampak positifnya adalah masyarakats emakinselektif memilih
barang, menumbuhkan industri kecil, dan pengangguran berkurang karena banyak
wirausahawan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi inflasi
adalah yang berkaitan dengan Kebijaksanaan Moneter, Kebijakan Fiskal, Kebijakan
yang Berkaitan dengan Output, Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing,
Sanering, dan Devaluasi.
Sumber: